Terlalu sibuk mengejar nilai, ranking, dan hafalan, hingga melupakan esensi paling mendasar dari sekolah.
Ki Hajar Dewantara mengungkap rahasia ini puluhan tahun lalu. Ia menolak sistem pendidikan kolonial yang hanya mencetak robot-robot patuh. Namun, ironisnya, sistem yang ia lawan itu justru masih menjadi arus utama pendidikan kita sampai hari ini.
Konflik utama yang ia temukan bukanlah pada murid yang malas, tetapi pada sistem yang mematikan. Sistem kolonial Belanda mendidik dengan paksaan, hukuman, dan uniformitas. Sekolah menjadi penjara kecil yang membunuh kodrat anak.
Di sinilah revolusi pemikiran Ki Hajar Dewantara dimulai. Ia tidak hanya memikirkan bagaimana anak bisa pintar, tetapi bagaimana mereka tumbuh merdeka sebagai manusia. Pendidikan bukan soal mengisi gelas, tapi menyalakan api.
Perubahan radikal yang ia usung dirangkum dalam Trilogi yang mendalam. Ini bukan sekadar slogan, tetapi filosofi hubungan manusiawi antara guru dan murid.
Ing Ngarso Sung Tuladha (di depan memberi teladan), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah membangun kemauan), Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan). Posisi guru berubah dari diktator di depan kelas menjadi fasilitator, motivator, dan pelindung yang merangkul dari belakang.
Inilah inti falsafahnya: sistem Among. Pendidikan adalah proses budaya. Tugas guru seperti petani. Tidak menarik paksa tunas agar cepat tinggi, tetapi menyediakan tanah subur, air, dan matahari agar kodrat alamiahnya tumbuh optimal.
Anak adalah Subyek yang memiliki Kodrat (kekuatan batin) dan Kulitet (bakat). Sekolah harus menjadi taman (Tamansiswa) yang memerdekakan kekuatan itu, bukan pabrik yang menyeragamkannya. Ini melawan logika industri pendidikan modern.
Jadi, apa makna sebenarnya dari merdeka dalam pendidikan Ki Hajar? Bukan berarti bebas semaunya. Merdeka berarti sang anak mampu mengatur dirinya sendiri (berdiri di atas kaki sendiri) sebagai manusia yang beradab dan bermartabat.
Kemandirian lahir dan batin inilah tujuan akhir. Pendidikan harus menuntun anak untuk menemukan dan menguasai dirinya sendiri, sehingga mampu hidup selaras dengan masyarakat dan alam semesta. Ini adalah bekal terbesar untuk menghadapi dunia yang berubah.
Pertanyaannya sekarang: Sudahkah ruang kelas kita menjadi "taman" yang merdeka? Atau masih jadi "penjara" halus yang mengekang kodrat anak?
Mari kita renungkan kembali filosofi pendiri pendidikan nasional kita. Bagaimana kita, sebagai orang tua, guru, atau masyarakat, bisa mulai menerapkan semangat merdeka belajar ini, sekecil apapun, dalam lingkungan kita.


0 Komentar